JAKARTA - Industri perbankan semakin menekankan peranannya dalam mendukung bisnis ramah lingkungan. PT Bank Permata Tbk (BNLI) menunjukkan komitmen nyata dengan fokus memperluas pembiayaan hijau atau green financing sekaligus mengurangi aliran dana ke sektor industri dengan jejak emisi tinggi yang berpotensi merusak lingkungan.
Pendekatan ini menandai langkah strategis perbankan domestik dalam menyesuaikan diri dengan tuntutan keberlanjutan sekaligus menjaga portofolio dari risiko lingkungan.
Kebijakan Internal untuk Pembiayaan Berkelanjutan
Harfelia Desti, Division Head Sustainability Permata Bank, menjelaskan bahwa pihaknya telah menetapkan kebijakan internal yang dikenal sebagai pembiayaan berkelanjutan.
"Kami punya kebijakan internal, namanya kebijakan pembiayaan berkelanjutan," ungkapnya.
Kebijakan ini mengatur proses evaluasi kredit yang secara ketat mengintegrasikan aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG). Setiap kredit yang akan disalurkan ke korporasi wajib melalui uji tuntas atau due diligence yang menyeluruh. Desti menekankan bahwa mekanisme ini diterapkan tidak hanya pada industri tertentu, tetapi menyasar seluruh sektor yang menerima pembiayaan bank.
Dalam praktiknya, setiap nasabah akan diberikan daftar pertanyaan yang menjadi bagian dari evaluasi kredit. “Ada list of questions (daftar pertanyaan) itu ke setiap nasabah kami.
Dalam proses evaluasi kreditnya, si pemutus kredit juga harus membaca hasilnya seperti apa,” kata Desti. Tujuannya, memastikan bahwa keputusan pembiayaan mempertimbangkan risiko lingkungan sejak awal.
Pendekatan Selektif pada Sektor Emisi Tinggi
Meski fokus utama Permata Bank adalah mendukung sektor berkelanjutan, pembiayaan ke industri dengan jejak karbon tinggi tidak sepenuhnya ditutup. Namun, ada persyaratan ketat untuk kasus-kasus tertentu, seperti pembatasan jumlah kredit dan penetapan tenor yang lebih singkat. “Jadi pembiayaan yang emisinya tinggi itu kami tidak tambah exposure-nya, jadi lebih fokus ke yang berkelanjutan,” jelas Desti.
Dua tahun terakhir, bank ini juga melakukan climate risk stress test untuk menilai risiko yang terkait perubahan iklim. Hasil dari uji ini menjadi dasar klasifikasi industri yang memiliki tingkat emisi tinggi, misalnya batu bara dan kelapa sawit. Bank kemudian menerapkan kebijakan underwriting yang diperketat dan pengelolaan portofolio secara bertahap agar risiko lingkungan dapat diminimalkan.
Perubahan Lanskap Pembiayaan Industri Ekstraktif
Budiono, Direktur Eksekutif Yayasan Cerah Agung, menambahkan bahwa tren pembiayaan untuk industri ekstraktif, khususnya batu bara, kini semakin berkurang. Di berbagai kawasan, mulai dari Asia Selatan, Asia Timur kecuali China, hingga Eropa, bank-bank telah menetapkan kebijakan restriktif untuk tidak memberikan pembiayaan ke sektor tinggi emisi.
Namun, kondisi ini justru membuka peluang bagi bank domestik untuk tetap menyalurkan dana ke sektor-sektor yang memiliki emisi karbon tinggi. Ia menekankan bahwa perbankan sejatinya telah memiliki peta jalan untuk mengurangi pembiayaan ke sektor berisiko tinggi, sejalan dengan aturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui POJK 51 Tahun 2017 tentang Penerapan Keuangan Berkelanjutan bagi Lembaga Jasa Keuangan, Emiten, dan Perusahaan Publik.
Budiono menyoroti pentingnya transparansi dari OJK terkait pendanaan berisiko. “Kalau bisa pendanaan-pendanaan yang berisiko ini di-ekspose,” ujarnya. Menurutnya, perbankan akan tetap menyesuaikan dengan regulasi pemerintah dalam mengurangi pembiayaan ke sektor berisiko, meski faktor politik kerap menjadi pertimbangan utama dalam keputusan pendanaan.
Masa Depan Pembiayaan Berkelanjutan di Indonesia
Langkah Permata Bank menunjukkan bahwa bank domestik dapat memadukan tujuan profitabilitas dengan tanggung jawab lingkungan. Dengan menyalurkan lebih banyak pembiayaan ke sektor hijau dan membatasi eksposur pada sektor tinggi emisi, bank tidak hanya mengurangi risiko portofolio, tetapi juga mendorong transformasi industri menuju praktik yang lebih berkelanjutan.
Inisiatif ini juga dapat menjadi contoh bagi perbankan lain di Indonesia. Dengan memetakan risiko emisi dan menerapkan kebijakan internal yang tegas, bank-bank memiliki peluang untuk mengembangkan green financing secara lebih luas. Selain itu, keterlibatan OJK dalam pengawasan dan transparansi pendanaan berisiko akan memperkuat implementasi keuangan berkelanjutan, sehingga target pengurangan emisi sektor industri dapat lebih terukur dan realistis.
Seiring meningkatnya kesadaran global terhadap isu perubahan iklim, pembiayaan berkelanjutan diperkirakan akan menjadi faktor penentu reputasi dan daya saing bank di masa depan. Permata Bank, dengan strategi pembiayaan yang hati-hati dan terukur, menegaskan posisi sebagai pelopor dalam transformasi keuangan hijau di Indonesia, sekaligus menunjukkan bahwa keberlanjutan dapat berjalan beriringan dengan pertumbuhan ekonomi.